Soleh Solihun kini sedang mengejar cita-citanya menjadi seorang sosok. Bukan tidak beralasan jika ia menyukai lagu berjudul “It’s Not My Place In The Nine to Five World” dari The Ramones. Ia merasa apa yang ia cita-citakan berada di luar jam kerja nine to five tersebut.
Sebagai penyiar radio, Soleh terbiasa dengan waktu-waktu yang ekstrem. Terbangun saat yang lain masih tertidur, terjaga ketika seharusnya beristirahat. Sejak memantapkan diri sebagai stand up comedian, Soleh melihat ekstremitas itu sebagai sebuah akses untuk menghasilkan lawakan yang bermutu. “Penyiar radio kan selalu update dengan hal baru, dan setiap hari membicarakan hal-hal yang sedang hangat. Dengan begitu, saya dapat banyak topik untuk dibicarakan ketika tampil stand up,” kata Soleh kepada Inspirasi.
Soleh adalah seorang jurnalis musik selama tujuh tahun. Di kalangan musisi dan pencinta, musik hampir tidak ada yang tidak mengenal Soleh. Toh ketika ia memutuskan keluar dari Rolling Stone yang membesarkan namanya, ia tetap menjadi duta yang baik bagi majalahnya tersebut. “Nulis Rolling Stone itu tanpa S. Bukan Rolling Stones karena Rolling Stones adalah nama band Mick Jagger dan kawan-kawan. Maaf mengoreksi karena orang sering salah mengejanya,” kata Soleh.
Menjadi jurnalis Rolling Stone adalah mimpi yang menjadi nyata bagi Soleh, meski akhirnya ia mengaku dihadapkan pada pilihan untuk meninggalkan majalah legendaris tersebut. “Setelah siaran selama dua tahun dan karena kesibukan di layar kaca, akhirnya manajemen tahu bahwa saya siaran setiap hari di Indika FM. Dan ini dianggap melanggar peraturan perusahaan. Jadi ya mau tak mau, saya harus pergi,” cerita Soleh.
Kini latar belakang Soleh sebagai jurnalis adalah salah satu yang membedakan pria kelahiran 2 Juni 1979 ini dengan comic lain. “Jika berbicara mengenai saya sebagai seorang comic, maka tidak banyak yang tahu sisi keahlian saya yang lain sebagai jurnalis dan MC,” kata Soleh. Bagi Soleh, mengenalkan orang pada sosoknya sebagai presenter dan MC akan membuat lingkup pekerjaannya bertambah luas. “Mudah-mudahan dengan adanya kombinasi dengan keahlian lain, umur karir saya akan lebih panjang.”
Ketika Soleh masih kecil, ia kerap mendengarkan ceramah KH Zainuddin MZ dari kaset yang dibeli ayahnya. Tidak ada yang ia ingat dari ceramah kyai kondang tersebut, tapi ia ingat bahwa ia terhibur mendengarnya. “Mungkin karena itulah, gaya stand up saya kental dengan pengaruh ustadz,” katanya.
Lebih dari 150 ribu orang menjadi follower Soleh di Twitter, sebagian besar mengenal gaya Soleh yang seperti komentator sepakbola ketika berbicara. “”Saya rasa itu juga yang menjadi salah satu diferensiasi saya dengan comic lain,” katanya.
Di kalangan stand up comedian, Soleh dikenal sebagai comic yang seolah tak paham teori stand up comedy. “Ketika menjadi MC, sudah banyak orang yang tertawa ketika saya berbicara di depan panggung. Sekarang orang menyebut itu sebagai stand up comedy,” katanya. Karena itu, ia tak pernah menulis materi stand up-nya sebelum tampil. “Saya mengibaratkan diri saya sebagai musisi punk rock jika di industri musik: tak tahu teori musik, cuma bisa memainkan beberapa kunci gitar, tapi yang penting pesan tersampaikan dan orang terhibur,” jelasnya.
Meski percaya diri akan jalan kariernya, ia sangat sadar akan kekurangannya. “Memang saya minim ekspresi, ngomong nadanya datar, mukanya datar nggak ekspresif. Tapi yang penting orang ketawa.”